GURU HONORER DAN JANJI POLITIK


GURU HONORER DAN JANJI POLITIK


Awal bulan Oktober ini media massa NTB meberitakan kehebohan tentang honore. Honorer K-2 di Kabuaoten Dompu heboh karena NIP-nya dicabut oleh BKN dan Pemkab Dompu diminta untuk membatalkan SK CPNS yang bersangkutan. Pemkab Dompu kebingungan. BKN yang kasi NIP dan Pemkab yang kena batu didemo trus oleh rakyatnya. Indikasi amburadulnya pengelolaan birokrasi negeri ini. Di sisi lain,  Pemerintah Propinsi NTB “kebingungan” dari mana mengorek dana untuk menggaji guru honorer SMKN/SMAN sebagai implikasi dari alih status pengelolaan SMK/SMA dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah propinsi sesuai dengan amanat Undang-Undang Pemda Nomor 23 tahun 2014.
Sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 23/2014 maka sejak otonomi daerah efektif berlaku, pengelolaan seluruh lembaga pendidikan  dari tingkat TK sampai dengan SLTA menjadi tangung jawab pemerintah Kabupaten/Kota. Sementara Pmerintah Propinsi hanya sebagai supervisor dan membantu penyelengraan pendidikan di daerah yang menjadi wilayah kerjanya. Pemerintah kabupaten/kotalah yang berhaka untuk mengelurkan  ijin sekolah/permintaan formasi CPNS guru/pengakatan/pemindahan guru, dan lain-lain. Seluruh elemn persekolahan bergantung pada pemerintah kabupaten/kota, Cq Bupati/Wali Kota.  Pemilihan langsung juga berpengaruh kepada dinamika dunia persekokahan, termasuk personil pendidikan yang namanya guru dan tenaga admistrasi. Dalam Undang-Undang Nomor 14/2005 diistilhakan dengan tenaga pendidik dan kependidikan.
Ketersedian guru PNS untuk sekolah-sekolah pemerintah (negeri) dari tingkat TK sampai dengan SLTA memang masih belum mencukupi untuk mata pelajaran tertentu. Ketidakcukupan inilah yang mengharuskan pihak sekolah untuk mengangkat guru honor untuk mengajar mata pelajaran yanng tidakl ada guru PNS-nya atau memegang jam yang tidak habis dipegang oleh guru PNS yang ada pada sekolah bersangkutan. Sebagai ilustrasi, bila di satu sekolah ada 20 kelas (rombongan belajar) untuk mata pelajarn Agama Islam atau PPKn yang jamnya hanya 2 jam dalam seminggu maka pada sekolah tersebut ada 40 jam untuk mata pelajaran PPKn/Agama. Dengan kewajiban guru PNS mengajar untuk memenuhi standar sertifikasi 24 jam maka di sekolah tersebut masih tersisa 16 jam. Bila di sekolah tersebut hanya ada satu guru PNS maka sisa 16 jam ini harus diampu/dipegang oleh guru honor. Dari manakah honornya...?
Sebelum BOS dikucurkan maka anak-anak sekolah membaayar SPP. Tetapi setelah BOS dikucurkan SPP tidak boleh ditarik terutama untuk pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs.). Honor/gaji dari guru-guru honor ini berasaal dari SPP/BOS yang diterima oleh sekolah. Bertahun-tahun proses ini berjalan dan seluruh proses pembelajarn di sekolah aman-aman saja. Bukankah kita-kita yang jadi guru/dosen atau jadi pejabat saat ini adalah produk sekolah tanpa BOS. Jadi benar apa yang dikatakan oleh Kepala Dinas Dikpora NTB (M.Suruji) tidak perlu pusing dengan honor honorer SMA/SMK karena honornya sudah tersedia dari BOS dan dari BOS dan SPP untuk SLTA.
Persoalan menjadi bertambah karena guru-guru honor baik di sekolah pemerintah mupun di sekolah non pemerintah telah digeret dalam arus politik pilkada lagsung. Guru honoreradalah non PNS maka mereka berani dengan terang-terang untuk mendukung candidat yang berjanji untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Guru honorerpun membuat pesatuan dengan berbagai istilah. Persatuan inipun terstruktur dari pusat sampai tingkat daerah. Bila ada Pilpres pimpinan pusatnya tampil. Bila ada pilkada maka pimpinan-pimpinan daerahnya yang tampil.  Saat pilkada berlangsung organisasi ini sangat aktif menjadi tim sukses. Pentolan-pentolan organisasi ini menjadi tim sukses ring satu calon yang menjanjikan akan meningkatkan kesejahteraan guru honorer yang akan dianggarkan pada APBD bila sang candidat menang. Bahkan lebih gila lagi ada candidat yang berani menjanjikan akan mengangkat guru honorer atau tenaga honor/tenaga job yang telah lama mengabdi untuk mendapat perioritas menjadi CPNS. Sang candidat tidak pernah menjadi birokrat alias non-PNS maka gampang saja berjani begitu kerena mereka tidak tau bahwa CPNS, formasi dan NIP-nya menjadi wewenang  pemerintah pusat. Non PNS berjanji pada orang yang kepingin jadi PNS jadi sempurnalah ketidaktahuan itu.
Tim sukses dari honorer-honore itu sangat aktif. Bukan hanya aktif mensosialisasikan candidat yang didukung ke anggota organisasi dan masyarakat tetapi aktif juga mencatat anggotanya yang mendukung candidat lain. Ya tepatnya saling catat dan saling intif. Catat - mencatat ini dianggap penting karena nanti bila sang candidat keluar sebagai pemenang maka yang tercacat tinggal disingkirkan dan diganti dengan cara halus atau kasar. Cara halus dilakukan dengan berbagai istilah seperti rasionalisasi, penjaminan mutu, dan lain-lain. Implikasinya, pemerintah terpilih mengadakan tes tenaga honorer/tes tenaga job/tes tenaga sukarela. Yang ikut siapa saja boleh asal memenuhi kualifikasi ijazah. Honorer boleh yang tidak pernah honorerpun boleh. Terminologi kedua digunakan sebenarnya untuk menerima honorer baru yang merupakan titipan/keluarga dari tim sukses yang lain. Ujung-ujungnya yang lulus sudah karuan. Yang tercatat “pasti tersingkir” dan akan digantikanm dengan titipan yang tidak pernah menjadi tenaga honor karena baru tamat kuliah/bahkan ijazahnya belum ditebus. Dengan cara kasar.... saat pembagian jam mengajar di sekolah pada awal tahun pelajaran/semester..sang guru honorer yang masuk cacatan tidak diundang dalam rapat pembagian tugas, dan banayk trik-trik yang lain.
Bila disepakati bahwa penganggaran honor guru honorer di APBD merupakan janji politik Pilkadamaka seharusnya tidak menjadi perdebataan antara pemerintah kabupaten/kota dan propinsi. Aturan dalam pengelolaaan keuang juga pasti tidak akan ada yang dilanggar karena istilah sharing anggran antara pemerintah propinsi dengan pemerintah kab/kota telah legal terjadi. Guru-guru honorer yang mengajar di SMA/SMK juga mengajar anak-anak yang ada di kabupaten/kota yang dipimpin oleh bupati/walikota. Bila ada perhitungan IPM di kabupaten/kota mereka akan berkontribusi untuk distribusi lama belajar penduduk kab/kota. Guru akan damai dan bersemangat mengajar bila kesejahteraannya terjamin. Bila guru bersemangat, pasti kualitas anak didik akan meningkatkan. Tidak banyak kontribusinya gedung megah, perpustakaan mewah dan alat-alat pembelajaran canggih bila guru terabaikan. Dalam ilmu manajemen sukses suatu institusi 80 % ditentukan oleh SDM. Sukses dunia sekolah akan ditentukan oleh para guru. Untuk itu, idealnya pemerintah kabupaten/kota dan perintah propinsi sama-sama menganggarkan honor guru honrer SMA/SMK di APBD. Dengan demikian, alih status SMA/SMK dari kab/kota ke propinsi menjadi berkah karena guru honorer akan mendapatkan honor dari 2 sumber yang berimplikasi pada nominal yang lebih besar.Dan, guru honorer jangan digeret dalam dinamika Piilkada. Wallahuaklam bissawab.

Penulis  :
Dr.HM.Mugni Sn,M.Pd,.M.Kom.(Ketua ICMI Orda Lotim /Anggota Dewan Riset Daerah NTB)

Related Posts

Subscribe Our Newsletter